Jumat, 25 September 2015

Belenggu Kabut Asap Tiada Akhir

Hari ini dan kemarin adalah hari terburuk dalam sejarah kabut asap di Kota Jambi. Ya, sepanjang menjadi orang Jambi, suasana Lebaran Idul Adha kemarin adalah yang terparah karena Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) mencapai angka 600 ---> BERBAHAYA!

Baca disini:


Sebelumnya ISPU sempat di level normal pada angka 130, Kondisi ini membuat warga Jambi marah, sedih tapi tidak tahu harus berbuat apa, karena akar permasalahan bencana kabut asap adalah kebakaran hutan/lahan yang mungkin menjadi urusan seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mengatasinya dan sepertinya sudah menjadi fenomena gunung es. 

Sudah hampir 20 Tahun kabut asap rutin menghampiri kota Jambi dan sekitarnya menjadi tanda tanya bagi para warga haruskah terus menerus merasakan dampak sesak nafas, dada kesakitan, mata berair, menghirup debu yang berterbangan, ancaman ISPA dan membiarkan anak-anak terkatung-katung karena proses belajar mengajar di sekolah terhambat karenanya.

Belum lagi kegelisahan kami para ibu yang memiliki bayi dibawah 2 tahun akan hak untuk memiliki ruang hidup yang sehat nyaman dan berkualitas. kemana kami harus meminta perlindungan?
Ini adalah persoalan serius yang menyerang nasib generasi penerus, pernahkah pelaku pembakaran itu bercermin akan nasib anak istrinya? Yang paling menyedihkan adalah saat bayi-bayi baru lahir harus berhadapan langsung dengan udara dengan tingkat polusi berbahaya, jangankan berjemur di bawah sinar matahari, pintu dan jendela rumah saja harus ditutup rapat-rapat karena asap dan debunya masuk hingga ke dalam rumah.

Dalam khutbah Sholat Idul Adha kemarin, sang Khatib mengajak segenap umat Muslim untuk bersama-sama meningkatkan keimanan, ujian demi ujian, bencana demi bencana seolah menjadi pertanda akan kemurkaan Allah terhadap akhlak manusia yang enggan mengikuti aturan Allah, tidak amanah dalam memelihara dan menjaga bumi, begitu sang Khatib mengingatkan.

Kabut Asap tidak akan selesai begitu saja dengan hanya membagikan masker di jalanan, bencana ini harus ditangani dengan serius dan tegas, ingat negara wajib melindungi kaum wanita dan anak-anak. Kami tahu menghadapi ujian harus dengan kesabaran, tetapi tindakan mitigasi dan tanggap darurat pemulihan kualitas udara secepat mungkin harus dilakukan. 

***

Di Tahun 1960an, Jepang pernah mengalami bencana yang mengancam kesehatan rakyatnya saat rakyatnya mengalami keracunan akibat tercemar limbah mercuri sehingga menimbulkan penyakit minamata yang berdampak pada kerusakan genetik dan kematian. Ini menjadi titik balik dan pelajaran bagi pemerintah Jepang pada saat itu karena mereka berpikir bila tidak diatasi akan merusak tatanan kehidupan Jepang dan sulit memiliki generasi penerus yang sehat dan berkualitas. Sejak saat itu Pemerintah Jepang, Pihak Praktisi Swasta dan Masyarakatnya berkomitmen untuk memberantas pencemaran lingkungan di Jepang.

Kisah tentang Jepang itu pastilah sudah diketahui dan dipelajari oleh pemerintah Indonesia jauh sebelum kejadian asap melanda negeri ini.

***

Dari lubuk hati nurani yang paling dalam, mewakili segenap para ibu di wilayah Jambi dan sekitarnya yang hatinya menjerit dan menangis, gelisah akan kualitas kesehatan dan aktifitas anak-anak, Kami mengetuk hati para petinggi di jajaran pemerintah RI untuk mengambil langkah dalam menangani Kondisi Darurat Asap di Jambi dan di beberapa wilayah Di Indonesia dan memulihkan kondisi ISPU ke titik normal sesegera mungkin.



----------
Disclaimer : tulisan adalah opini pribadi, data dari berbagai sumber
*Saat ini penulis dipercaya menjadi Ketua Divisi AdvokASI AIMI Cabang Provinsi Jambi



Sumber Peta citra satelit dari KKI Warsi tampak asap memenuhi langit Kota Jambi dan titik api terbanyak di wilayah Sumatera Selatan



Foto-foto wilayah Jambi dan sekitarnya saat kondisi ISPU Berbahaya








Kabut Asap di Sungai Batanghari lokasi Seberang Kota Jambi


Kabut Asap di Jembatan Makalam Kota Jambi



Foto kondisi ISPU 583 Jum'at 25 September 2015 Pukul 11.51 WIB (dokumentasi AIMI Jambi)



Foto saat bertugas ke Dermaga Candi Muaro Jambi (ISPU 300an)



AIMI Goes to Office dalam rangka Pekan ASI Sedunia 2015 ke Kanwil BPN Provinsi Jambi dalam suasana Kabut Asap: 



ISPU 583 Hari Jum'at 25 September 2015, Memakai masker N95 di dalam rumah



Rabu, 12 Agustus 2015

MERAYAKAN PEKAN ASI SEDUNIA DAN MERAYAKAN MENYUSUI SETIAP WAKTU


Blog ini sudah lama tidak dikunjungi. tapi karena perayaan World Breastfeeding Week 2015, saya lalu berniat singgah dan ikut membagi suka cita di sini.


Saya Merayakan Pekan ASI Sedunia dan merayakan menyusui setiap waktu

_________________



Menyusui, menurut saya adalah bentuk pengejawantahan rasa syukur atas nikmat Tuhan.
Saya selalu percaya dengan kekuatan sugesti positif (the power of positive thinking).
Ketika menikah dan saya mengalami “kesulitan” untuk memperoleh keturunan karena harus mengalami proses keguguran berkali-kali (istilah medisnya: abortus habitualis), saya lantas tidak menyerah begitu saja.
Waktu itu diam-diam saya membatin berulang-ulang dan memohon kepada Tuhan: 
“Yaa Allah, jika Engkau ridhoi hamba yakin bisa menjadi Ibu, mudahkanlah Yaa Allah”....
Tidak disangka, setelah “menunggu” Allah memberikan kesempatan itu, disaat saya harus berpisah sementara dengan suami yang sedang melanjutkan studi, saya diberi rezeki hamil kembali, setelah menunggu lebih dari 5 tahun. Tidak terduga, semua diberikan mengalir begitu saja tanpa ada rasa "was-was" yang mendera dan melupakan "trauma" akibat kejadian keguguran berkali-kali.
Dalam kondisi yang serba positif, saya selalu yakin akan perhatian Allah atas munajat kita.
Jadi kata kunci dalam hidup adalah sugesti positif, baik terhadap Sang Pencipta, maupun terhadap sesama.

Begitu juga dengan proses menyusui, dibutuhkan sugesti positif dan percaya diri untuk bisa berhasil memberikan ASI, selain dukungan suami, keluarga dan lingkungan.
 
Perjalanan panjang untuk akhirnya dipercaya menjadi Ibu, setelah penantian hampir 6 tahun lamanya. Ternyata penantian ini seperti memberikan keberuntungan tersendiri bagi saya pribadi, karena di tahun 2011 saya diberi kemudahan untuk mengamalkan apa yang sudah saya riset pada artikel/sharing teman-teman di AIMI (salah satunya teman sewaktu kuliah dulu, Febi Djafar, red) dan artikel lain di berbagai media. Saya sungguh beruntung pada saat hamil keempat, AIMI sudah giat berjuang memberikan informASI yang baik bagi para calon ibu seperti saya saat itu.

Tantangan terberat dalam menyusui adalah ketika saya harus kembali bekerja setelah 3 (tiga) bulan menjalani cuti bersalin, waktu yang teramat singkat bagi saya untuk dapat bersentuhan langsung, mengurus dan merawat buah hati. Saat itu hanya satu kata yang bisa mewakili perasaan saya, baru kali ini saya merasakan sedih yang teramat sangat karena harus melepaskan atribut ibu siaga yang 24 jam bisa mengurus buah hati tanpa perantara, dengan "terpaksa" harus meninggalkan buah hati selama 8 jam di luar rumah dan mendelegasikannya kepada asisten/kerabat :’(. Saya hanya bisa menangis.

Saat itu pekerjaan sedang dalam fase cukup sibuk, bahkan saya tidak bisa menolak untuk beberapa hari ‘berkantor’ di ibukota demi tugas yang harus diselesaikan. Dengan kondisi ini tentu saya tidak bisa memilih karena prioritas utama adalah anak, sehingga putra pertama saya, Ghavin yang saat itu berusia 5 bulan pun harus dibawa bekerja. Sebelumnya, saya juga sempat mengalami 'krisis' ASI perah. Pada saat bertugas ke luar kota, saya bersyukur Allah selalu mengirimkan hamba-hambanya yang pemurah dan penolong, yang sepertinya memang dikirimkan untuk mempermudah proses menyusui yang saya lakukan sambil bekerja. Seorang rekan kerja menawarkan bantunannya untuk mengantarkan ASI Perah saya ke penginapan kami, setelah mengetahui ibu saya menelepon dan memberitahukan kalo ASI Perahnya tinggal sedikit. Alhamdulillah, kantor tempat saya ditugaskan pun memiliki ruang laktasi di setiap lantai genapnya, fasilitas ini membuat perasaan saya bahagia sehingga ASI perah pun lancar karena hormon oksitosin bekerja dengan baik untuk mendorong hormon prolaktin mengeluarkan ASI. (Subhanallah....)





Menyusui adalah memang perjuangan yang luar biasa. Saya setuju dengan ini, baik ibu yang bekerja diluar rumah atau tinggal di rumah, seorang ibu perlu perjuangan, peluh bahkan darah dan airmata untuk bisa memberikan ASI, makanan terbaik bagi buah hatinya.
Keindahan menyusui-lah juga yang akhirnya membuat saya dan teman-teman tergerak untuk mengikuti 22 wanita penggagas gerakan InspirASI, menjadi sukarelawan dengan tujuan mendukung para ibu menyusui atau siapa saja yang ingin berbagi ilmu tentang menyusui dan ASI di kota tempat kami tinggal, memberikan informASI dan turun ke jalan, berbagi cerita tentang kegagalan dan keberhasilan menyusui satu sama lain, berusaha mempromosikan ASI lewat media massa dan lain-lain, inilah yang membuat kami merayakan menyusui setiap waktu. Kami sepakat merayakannya karena sejak pertama kali bertemu kami ingin ibu-ibu lain yang belum merasakan menyusui ikut merasakan keindahan alamiah ini.

Na'udzubillah, tidak terbersit bahwa kami setelah itu akan dianggap sebagai kelompok penggiat ASI garis keras (?), terlalu diskriminatif rasanya niat tulus kami diberi ‘stigma’ demikian, sementara kronologis dan sepak terjang kami menjadi sukarelawan bukanlah hal yang mudah karena harus mengeluarkan keringat, waktu dan tenaga, mencari donASI kesana kemari agar kami dapat menjalankan misi untuk bisa mengedukASI dan menyebarkan informASI dan bersosialisASI demi impian tulus ingin ikut bertanggung jawab dalam membangun masa depan generASI yang lebih baik, dan ini sungguh bukan pekerjaan yang mudah. Namun rasa cinta menyatukan niat kami untuk terus berjuang bersama.

Perayaan Menyusui adalah bagian dari sejarah yang akan mengubah peradaban bangsa. Begitu banyak informASI yang disajikan dalam momen perayaan Pekan ASI Sedunia. Satu kalimat sangat berharga bagi para ibu atau calon ibu atau siapa saja yang ingin mengetahuinya. 
Bukankah itu luar biasa?
Bukankah dalam Alqur’an telah dikatakan bahwa “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, apabila kaum itu tidak mau berubah”?

Mari rayakan menyusui setiap waktu sebagai anugerah dan cinta, dan bagian dari rasa syukur kepada sang Pencipta.


_______
Saat ini dipercaya menjadi Ketua Divisi AdvokASI Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Cabang Jambi
Ibu 2 orang anak, 
Maliq S Aghavino (4 Tahun 5 Bulan), menyusui hingga usia 26 bulan
Maleeqa Aisyah A (21 bulan, masih menyusu)


#wbw2015
#bulanASINasional
#menyusuiDanBekerja
#MariKitaSukseskan

[Disclaimer: tulisan adalah pengalaman dan opini pribadi dalam rangka merayakan World Breastfeeding Week 2015, Breastfeeding & Work: Let's Make it Work]







Senin, 18 Maret 2013

SYDNEY : KOTA BERKELANJUTAN YANG KAYA JULUKAN


Sebelum Liburan Musim Panas berakhir, ada baiknya kita tidak melewatkan hari-hari yang cerah itu dengan menjelajah kota modern yang ramah lingkungan seperti Sydney, Tidak hanya mempesona dengan Pelabuhan indahnya yang diakui dunia dengan aksesoris Tetenger Kota (Landmark), Sydney Opera House, dan Kawasan Historis The Rocks, serta berbagai tempat bersejarah dalam sudut kota (di bagian City).
Kunjungan saya ke Sydney kali ini terasa berbeda, karena saya membawa serta anak saya yang usianya belum genap dua tahun. Suasana Kota yang hangat berbeda dengan ketika musim dingin, sehingga hampir setiap sudut taman kota dipenuhi oleh Turis-turis asing dari berbagai negara, Amerika Latin seperti Argentina, Brazil, Hong Kong, Jepang hingga Eropa.
Hal yang memanjakan saya adalah saya dan keluarga seperti menjadi warga kota kelas satu, karena Orang tua, Anak-anak, Ibu Hamil dan Kaum Difabel menjadi prioritas dalam penggunaan fasilitas publik.
Pedestrian way di fasilitas umum juga sangat ramah dengan stroller bayi dan kaum difabel sehingga para orang tua memiliki akses yang sangat baik dalam mobilisasi kegiatan sehari-hari mereka bersama anak-anak.
Dalam Pesawat menuju Kingsford Smith, Bandara Internasional Sydney, Maskapai Australia juga telah menyediakan fasilitas tempat duduk khusus untuk anak (bassinet) sehingga penumpang yang membawa infant tidak kelelahan dan anak pun bisa beristirahat dengan nyaman di tempat gratis yang disediakan oleh maskapai ini. Makanan yang disediakan pun sangat menggiurkan, saya sangat terkesan dengan menu dessert chocolate mouse dan snack Pannini Turkey nya yang sangat lezat. Yumm!
Jika anda tidak memiliki SIM Internasional atau sayang untuk mengeluarkan receh (baca: dollar) untuk menyewa mobil, ada tidak perlu khawatir karena moda transportasi di Kota Sydney sangat baik dan anda bisa langsung menanyakan kepada operator maya di www.131500.com, tinggal ketik saja daerah tujuan anda dan darimana anda akan memulai perjalanan, maka semua informasi baik alternatif moda transportasi serta waktu tempuh ke tempat tujuan secara virtual akan muncul di layar situs tersebut. 

Penjelajahan di kota Sydney, kami mulai dengan menikmati taman kecil di kawasan The Rocks, dengan menggunakan train dari stasiun Wolli Creek (salah satu Suburb di Kota Sydney yang lokasinya dengan dengan Airport) menuju Circular Quay Station, kita akan langsung berada pada Pusat Turis di Kota Sydney, suasana begitu hangat dengan warna-warni pakaian yang dikenakan para turis dari mancanegara, berjalan kaki adalah moda berkelana yang ideal jika anda memiliki hobi fotografi, karena segala aktifitas yang berada di pusat Turis ini sayang untuk dilewatkan. Saya sendiri menyukai tema Human Interest, dan sempat mengambil beberapa gambar orang-orang yang sedang asik bersantai di taman dan di sekitar objek wisata. Suasana seperti ini sulit kita temui di kota-kota besar di Indonesia yang memang belum sepenuhnya mengelola taman kota yang ramah untuk publik (user friendly), sehingga ruang terbuka hijau di Indonesia tidak banyak dikunjungi publik.






Makan Siang tiba kami beristirahat sejenak di taman tersebut untuk makan siang, bekal untuk makan siang sudah kami siapkan dari rumah sebelum melakukan perjalanan, selama di Sydney kami memang rajin membawa bekal sebagai bentuk antisipasi ketika kami tidak menemui makanan berlabel halal yang memang jarang ditemui di Pusat Kota.
Sedikit bercerita mengenai latar belakang kawasan landmark Sydney, Sydney Opera House, The Rocks dan Sydney Harbour Bridge, dulunya daerah ini merupakan tempat pertama kali Kapten James Cook mendarat pada abad 17.
(to be cont'd)











Jumat, 21 Desember 2012

Belajar dari Kehidupan Orang Bali (1)

Bulan Oktober lalu, saya berkesempatan mengunjungi kembali destinasi wisata kebanggaan negeri ini. Bali, memang mempesona tidak saja dari kekayaan alam yang indah, namun juga budaya dan filosofi masyarakatnya yang patut dieksplorasi. Momen ini berkah bagi saya karena kebetulan saat itu kota tempat saya tinggal (Jambi, red) sedang dilanda bencana tahunan bernama Kabut Asap (salah satu dampak dari kebakaran hutan, red) sehingga kunjungan ke Bali dapat dijadikan sebagai self healing, menjauh dari cuaca yang tidak sehat.
Sesampai di Bali, saya langsung mencari taksi untuk mengantarkan saya ke Sanur, tempat saya melakukan pertemuan dengan para delegasi dari berbagai wilayah di Indonesia (ciee berasa mau Konferensi Tingkat Tinggi aja hehehe). Secara kebetulan saya juga membawa serta anak saya yang saat itu berusia 18 bulan bersama asisten saya. Ghavin (nama panggilan putra saya) memang selalu menjadi 'Bintang tamu' dalam setiap kunjungan kerja saya ke luar kota dikarenakan hingga saat ini dia masih menyusui, jadi ibarat kata "kemana pabriknya pergi, sang konsumen harus selalu ikut', hehehe, ini intermezzo saja.
Well, akhirnya kami sampai di dalam taksi dengan Sang Pengemudi Cerdas dan Ramah bernama Pak Wayan. Mengapa saya katakan cerdas? karena sepanjang perjalanan dari Bandara Ngurah Rai hingga sampai di Werdhapura, Sanur, saya seperti mendapat mata kuliah 2 sks dengan judul, Filosofi Kehidupan Orang Bali.
Pak Wayan menjelaskan kepada saya bagaimana Bali bisa menjadi negeri yang dikenal dunia, bagaimana asal muasal para investor asing jatuh hati dengan daerah ini. Bagaimana sejarah kehidupan Kerajaan Mataram Hindu sampai ke tanah Bali juga diuraikan dengan jelas oleh pak Wayan, sampai-sampai saya kehabisan pertanyaan karena informasi yang disampaikan sangat kompleks dan menambah khasanah pengetahuan saya saat itu juga. Terima kasih Tuhan sudah mempertemukan saya dengan orang ini (gumam saya dalam hati).
Ada yang mengusik hati saya saat saya menelusuri jalan-jalan di Denpasar saat itu, pembangunan properti lagi-lagi mengernyitkan dahi, Bali makin mengalami perubahan drastis begitu pengamatan sejak kunjungan terakhir saya tiga tahun lalu. Jalanan makin macet, gedung-gedung hotel makin bertambah, mudah-mudahan alam Bali tetap terlindungi dengan baik karena Bali memiliki wilayah konservasi di bagian barat dengan luasan Taman Nasional Bali Barat kurang lebih 19.000 Hektar, ditambah lagi wilayah konservasi lainnya ini sungguh melegakan. Orang Bali juga sangat menjunjung tinggi kecintaan terhadap alam (lingkungan hidup) seperti prinsip yang terdapat dalam Kitab Agama Hindu, Weda,
Sesampai di Sanur setelah melepas lelah saya kemudian langsung memutar arah ke timur menuju Pantai Sanur yang posisinya persis di Depan hotel. Ini adalah Kali pertama putra saya Ghavin bermain di Bibir pantai dimana sore itu air sedang beranjak surut. Di sepanjang pedestrian way pantai ini, wisatawan asing yang rata-rata para keluarga tampak asik bersepeda, sulit saya temukan wisatawan lokal disini ditambah lagi Cuaca yang sangat terik menjadikan pantai sebagai ruang favorit bagi para turis asing yang ingin berjemur (sunbathing).
Waktu makan malam pun tiba, hanya beberapa orang panitia, Ada saya Dan wakil Dari Papua yang menyantap hidangan malam itu, menunya sangat Indonesia. (Asisten saya bisa manyun kalo menunya ala western haha!)
Pertemuan Kali ini kami membahas tentang Urban Design yang mana pembagian Zonasi dibuat detail berikut zoning regulation-nya. Selain membahas aspek perancangan Kota Dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, ada sesi menarik lain yakni tentang pedoman Rancang untuk jalur pejalan kaki. Hal ini memang memiliki urge nitas tinggi karena Kota-Kota di Indonesia belum ada yang memiliki jalur pejalan kaki yang Human friendly (ini menurut saya loh ya). Alasan saya pun sangat manusiawi sebetulnya, saya belum menemukan pedestrian way perkotaan yang sudah menyediakan akses untuk kaum difabel, Kebanyakan juga jalur pejalan kaki dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang memang secara sosioekonomi juga butuh ruang.










***

Setelah beberapa hari melakukan pertemuan di Sanur, saya lalu memutuskan untuk extent dan tinggal di Tuban, dengan alasan sangat dekat dengan airport. Penjelajahan dimulai dengan tidak meninggalkan kuliner khas Bali, kami sempat diajak teman lama saya semasa SMP dan SMA, Ni Made Ayu Suni (Suni) yang asli Bali, untuk makan malam di sebuah restoran khas masakan lokal yang terletak di pusat Kota Denpasar. Lidah saya terhibur dengan hidangan Sate Cumi, Ayam Sisit dan Sayur Pakis bumbu Bali (silakan dibayangkan yaa... hehehe).





Day 1 

Keesokan harinya melanjutkan penelusuran tentang budaya Bali kami bertolak ke Ubud, siapa yang tidak mengenal Desa Seni bertaraf internasional ini, sampai-sampai Holywood pun jatuh hati menjadikannya sebagai tempat syuting untuk scene Love dalam film Eat, Pray, Love yang diperankan oleh Julia Roberts. Sesampai di pusat kota Ubud kami singgah terlebih dahulu ke Pasar Seni Ubud, karena Pasar termasuk salah satu spot menarik ketika kita ingin merekam jejak aktivitas masyarakat lokal. Ternyata pasar seni Ubud sedang dalam renovasi sehingga hiruk pikuk dan lokasi yang sekarang tidak seramai biasanya, hasrat saya ingin mencari makanan lokal pun kandas. Akhirnya kami hanya mampir sebentar membeli kerajinan anyaman lokal. Karena hari sudah siang maka penjelajahan di Ubud tidak terlalu lama ditambah lagi Ghavin mulai merasa gerah, akhirnya Gelato Oops dan Fish Spa pun dilewati. Ubud bukan hanya menjadi tempat belajar seni dan meditasi, melainkan juga merupakan tempat pilihan para penulis dalam melakukan pertemuan tahunannya, pada saat kunjungan kesana, sedang berlangsung Ubud Writers & Readers Festival 2012 dengan tema Bumi Manusia (This Earth of Mankind) karya emas Pramoedya Ananta Toer yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia (aah ingin sekali saya menghadiri festival ini). Saya sebetulnya kangen dengan daerah Campuhan, dulu waktu honeymoon saya dan suami sempet singgah di Museum Blanco. Namun karena ada wacana ke Bedugul, saya cukup puas dengan mampir di pusat desa Ubud saja.





***

Meninggalkan Desa Seni Ubud, kami meneruskan perjalanan dengan roda empat bersama pengemudi bernama Mas Komang,  saya ingin makan siang di pinggir sawah mas, ujar saya, mobil pun bergerak menuju daerah persawahan terasering yang cantik di Tegalalang, disini banyak sekali turis asing dari Jepang dan Timur Tengah sedang menikmati keelokan sawah sambil minum air kelapa muda. Segar yaa... Saya pun memilih menu khas Bali Ikan Tuna Sambal Matah atau dineri nama "Be Pasih" rasanya lumayan enak, yang membuat unik ya sambal matahnya memang merupakan sajian lokal. Ghavin sangat menikmati suasana saung di Kafe Teras Padi ini, dan tentunya mendapat teman baru dari Tokyo. Moshi-moshi.... :)





Usai makan siang kami kembali menuju arah pulang ke Tuban, namun karena hari menjelang sore jadi kami memutuskan untuk mampir ke Pantai Padang-Padang (hihihi lagi-lagi tempat syuting film Eat Pray Love, ingat scene terakhir si Elizabeth dengan kekasihnya?). sebelumnya setelah dari Ubud kami ingin sekali melihat Bali Safari Park karena Ghavin sangat menyukai dunia fauna tapi karena Ghavin masih lelap tertidur kami langsung merubah peta perjalanan supaya bisa menyaksikan sunset di Jimbaran sambil makan seafood tentunya :).

Suasana macet di Jalan Ngurah Rai By Pass membuat kami terjebak cukup lama di jalanan, sampai akhirnya masuk ke wilayah Pecatu Uluwatu melewati kampus Universitas Udayana dan akhirnya sampai juga di Pantai Padang-Padang, yang mana kondisinya hampir mirip dengan Pantai Dreamland, namun untuk menuju ke padang-padang ini anak tangga berbatu yang dituruni cukup banyak dan terjal (saya lupa menghitungnya), tidak ada Gondola seperti di Karma Kandara Resort. Alhasil saya ngos-ngosan (baca: rada gempor) menggendong Ghavin untuk turun ke pantai, tapi cukup puas meski tidak terlalu lama bermain di sini karena suasananya ramai sekali, sangat tidak private, mungkin gara-gara Julia Roberts syuting disini, jadinya pantai ini penuh dengan turis lokal dan asing yang datang berlibur untuk sekedar berfoto, bermain dan berjemur, tampak banyak juga batita yang sedang bermain pasir dan berenang. Tapi si kriwil Ghavin hanya beberapa saat saja mengambil gambar, saat hendak diletakkan dipasir dia berontak menolak dan langsung menunjukkan tanda-tanda cranky, Wheww!

Akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk mengakhiri Padang-padang sampai disini, belum ekaplor pantainya tapi Ghavin udah rewel jadi memang harus mengalah. Ketika menaiki anak tangga ke atas saya berpapasan dengan penduduk lokal yang membawa tangkapan ikan (saya lupa ini ikan apa yang dibawa, mohon dimaklumi ilmu perikanan saya minim banget, taunya cuma Ikan Nila, Patin, Gurame, Lele ama Hiu hehehe).
Sebelum melanjutkan perjalanan ke Jimbaran, mas Komang bertanya apakah jadi mampir di Pura Uluwatu, karena saya geli dengan monyet-monyet usil yang hampir saja mau mengambil kamera poket saya, kita pun akhirnya urung ke Pura Uluwatu.










Mobil akhirnya kembali bergerak menelusuri Uluwatu, melewati GWK dan karena lokasi yang sangat dekat kami langsung sampai di Jimbaran tepat pukul 5 sore. sebelum masuk ke lokasi pantai di depan tampak Pura yang berlokasi di pinggir jalan sedang dipadati oleh umat Hindu yang mengenakan pakaian putih-putih, sedang ada upacara keagamaan tampaknya.
Akhirnya kami sampai di salah satu restoran seafood di Jimbaran dan kami pun langsung memesan beberapa menu seafood dan es kelapa muda ditambah lagi memang perut sudah nagih minta diisi ulang hehehe. Alhamdulillah kami dapat menikmati sunset di Jimbaran, mengabadikannya dalam kamera, beberapa restoran juga menyuguhkan tarian dan pertunjukan musik tradisional Bali menambah keindahan eksotisnya pantai Jimbaran. Kami secara tidak sengaja juga berkenalan dengan turis dari Jepang yang secara kebetulan tinggal di Osaka (karena punya pengalaman get lost di Osaka jadi
berasa ketemu sodara sendiri hahaha). Mereka gemes melihat Ghavin, "kawai desune" katanyaa ;) jadilah mereka meminta berfoto dengan Ghavin hehehe tapi untunglah mereka cukup fasih berbahasa inggris, pasalnya saya kurang lancar berbahasa jepang hanya tahu kalimat-kalimat standar hehehe, dulu waktu di Osaka kemana-mana bawa kamus saku Jepang yang dibekali sama JICA, pihak sponsor yang mengundang saya belajar singkat di sana, ah kok jadi curcol nih! :D

...Dan Penjelajahan hari ini berakhir tepat jam 7 WITA, kami tiba di Aston Inn Tuban yang tidak jauh dari Jimbaran (thanks buat Sahabat saya Mbak Annis - Delta Tour di Semarang atas bantuannya mendapatkan hotel ini), kami pun langsung beristirahat. Saya tentunya siap-siap menahan kantuk karena Ghavin kalo malam hari aktif sekali, dan saya takjub juga dengan kekuatan fisiknya yang nggak pake capek hehehe.
Terima kasih juga buat teman saya Suni yang sudah mempertemukan saya dengan pengemudi hari ini, meski orangnya sangat pendiam, tapi saya bersyukur hari ini mas Komang sudah membawa saya untuk singgah di Bali Bakery, roti Almond Choco nya enaaaak banget! Berkhayal nanti ada bakery selezat ini di Jambi... Oke Sampai ketemu besok yaa :)

Senin, 11 Januari 2010

Kekuatan Positif bagi Indonesia

***

Biasanya setelah sampai di kantor saya langsung berjalan menuju ruang kerja, namun pagi itu (sekitar satu bulan yang lalu) ketika saya melewati lobi kantor ada hal yang menarik mata saya, dan itu tertuju pada artikel sebuah Surat Kabar berjudul “China Hardware, India Software, Indonesia No-ware”…

Hmm…

Mungkin pernyataan di atas ada benarnya bahwa saat ini China sedang memacu kemampuannya dalam mengembangkan perangkat keras, India sedang fokus di sektor 'perangkat lunak', tetapi kenapa Indonesia justru dikatakan tidak jelas arahnya mau kemana.


Bukan kajian ekonomi industri yang ingin saya ulas di sini, melainkan tentang kekuatan sebuah pencitraan. Terinspirasi dari pencerahan atasan saya di kantor pada waktu yang bersamaan dengan prolog di atas, tentang pencitraan Presiden SBY dan RI yang makin menurun. Saya langsung menjelajah alam pikiran saya tentang betapa dahsyatnya kekuatan media dalam hal pencitraan produk atau orang atau objek pemberitaan. Tema yang dulu pernah saya tulis sebagai thesis ketika mengambil studi Manajemen, persisnya tentang Marketing Public Relations.


~


Belakangan ini dalam konstelasi nasional makin jarang tertangkap mata berita yang bernada positif, beberapa cenderung menyorot permasalahan negatif yang membuat dahi berkerut dan memberikan empati tersendiri bahwa betapa mirisnya kondisi bangsa ini.

Terlepas dari konspirasi apapun di bumi Indonesia tercinta ini, mengapa kita belum sepenuhnya memberikan dukungan positif terhadap negeri ini? Mengapa terkesan banyak hal-hal yang tidak benar yang telah terjadi meskipun mungkin pada kenyataannya itu terjadi, tetapi mengapa preferensi kita tidak diubah untuk membesarkan hati dan jiwa sebagai bangsa yang besar?

Kalimat "Indonesia No ware" yang mencitrakan Indonesia sebagai Negara yang kurang arah, sungguh merupakan ungkapan yang menyedihkan. Saya pikir kita sebagai intelektual muda penerus bangsa tidak rela mendiskreditkan Negara kita sendiri, meski tidak dipungkiri kadang terselip dalam obrolan atau diskusi baik berbicara mengenai kualitas pelayanan publik, atau diskusi ilmiah tentang perkembangan Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yang masih jauh tertinggal dari Negara-Negara Tetangga, dimana kita terkadang merendahkan bangsa sendiri dengan mengatakan :

“Biasalah orang Indonesia, tau sendiri ngga disiplin, ngga commit, tukang korup..." dan ungkapan lainnya yang tanpa disadari melemahkan citra bangsa sendiri.


Kita seringkali diberikan wejangan dan pencerahan untuk tetap berpikir positif atas apapun yang terjadi disekeliling kita, atas apapun yang diberikan Tuhan kepada bumi dan segala isinya. Mengapa kekuatan itu tidak kita berikan kepada bangsa kita sendiri?

Mulai saat ini, akan lebih baik bagi kita sebagai bangsa kembali bersatu dan bersinergi melalui kekuatan-kekuatan positif dan meninggalkan imej negatif yang sering ditancapkan untuk bangsa sendiri. Sudah cukup lama kita terlena dalam cerai berai yang berkepanjangan. Bersatu tidak hanya berhenti untuk saling mencela, mencemooh dan menyalahkan satu sama lain tapi juga mendorong pencitraan bangsa ini dengan menggunakan kekuatan publikasi yang positif dan menciptakan word of mouth yang baik untuk membangkitkan dan memberi keharuman nama bangsa di mata kita sendiri dan dalam pandangan dunia internasional.

Sikap ini tentunya semata-mata kita lakukan karena kita bangga menjadi orang Indonesia, dan memiliki keyakinan bahwa kita adalah bangsa yang besar dan bermartabat.


***


"Keep your thoughts positive because your thoughts become your words.

Keep your words positive because your words become your behavior.

Keep your behavior positive because your behavior becomes your habits.

Keep your habits positive because your habits become your values.

Keep your values positive because your values become your destiny"

~ Mahatma Gandhi


P.S. : Sebuah Opini

Sumber gambar - http://shannonstanley.files.wordpress.com

dan www.freefromtears.com