Rabu, 28 Oktober 2009

REALITA ITU MILIK KITA



***


Melancong ke negara lain khususnya tempat yang well established memang memiliki sensasi tersendiri bagi kita yang melakoninya. Semuanya memanjakan publik, mulai dari pilihan moda transportasi yang secara sistem terintegrasi, sudut-sudut nyaman di ruang kota, law enforcement yang berjalan sesuai koridornya, tombol-tombol otomatis yang membuat tertib lalu lintas, pedestrian way yang luas tanpa ada PKL (pedagang kaki lima), manajemen persampahan nomor satu yang mengusung konsep 3R (reuse, reduce, recycle), kualitas jalan yang tak diragukan. Semuanya aplikatif pas dengan teori-teori di buku-buku kuliah.



Tapi tetap saja, itu bukanlah sebuah kebanggaan. Karena itu hasil karya orang lain bukan kita.



It's not belong to us, but them...






Meski belum ada sistem transportasi yang terintegrasi (kalau pun nanti MRT sudah launching itu juga tidak semua orang bisa menikmati karena adanya di ibukota), meski acapkali macet dimana-mana karena jalan-jalan kota yang berlubang dan PKL yang menguasai pedestrian way hingga tumpah ruah mengambil badan jalan, sampah basah-kering campur aduk jadi satu bahkan menetap di sungai-sungai yang airnya digunakan untuk kebutuhan dasar masyarakat, peruntukkan taman kota dan daerah resapan air dijadikan mall, hotel, ruko-, tetap saja potret itulah tempat kita bernaung. Semua berperan membentuk realita itu terjadi.



Well, It's belong to us...






Kita boleh berkhayal memiliki fasilitas publik yang nyaman dan terjaga seperti mereka. Kita pun bisa demikian kalau kita mau, mau mengikuti aturan-aturan setelah itu benar-benar ada. Tidak disalahgunakan, tidak dilencengkan, tidak diabaikan.Ketertiban dan Kenyamanan itu bergantung pada moral dan etika. Mungkin di sinilah ikhwal (development behaviour) yang hilang dalam siklus pembangunan.


Bagaimana caranya mengevaluasi moral dan etika? Harus dikembalikan lagi kepada nurani masing-masing. Dan mungkin program pembangunan yang paling tepat saat ini adalah membangun moral bangsa yang beretika lewat kursus-kursus kecerdasan emosi, sosial dan lingkungan (tentunya spiritual adalah dasarnya). Tapi seberapa efektifkah itu dapat berjalan?




~




Ketika ada waktu luang untuk berbagi cerita dengan seorang teman yang sering mengembara berpindah-pindah negara, dan saat ini menetap di Jepang, saya bertanya, "Apa yang membuat kamu terkesan dengan orang Jepang dibanding orang Eropa?" Lalu dia menjawab: "Orang Jepang selalu mengucapkan Selamat datang dengan suara yang keras/semangat dan Terima Kasih berkali-kali ketika masuk dan keluar dari restoran tempat kita singgah. Mereka adalah orang-orang yang selalu bersyukur"




Dari sini kami mengambil kesimpulan, bahwa success story orang Jepang selain tingkat kedisiplinan dan profesionalisme yang tinggi, adalah moral yang terbenam dalam masing-masing individu untuk selalu mengucap syukur dan mengapresiasi orang lain.Sama halnya orang Amerika, yang selalu mengucap kata 'maaf', ketika mereka tak sengaja melakukan kesalahan atau mengirimkan email/surat ketika tidak bisa memenuhi permintaan orang lain.


Semuanya bermula dari hal-hal sederhana, tapi itu cerminan hati.




Mencermati realita di negeri ini mungkin lebih baik bagi kita untuk kembali mengenang semangat dan pengorbanan tokoh-tokoh sejarah di masa lalu. Salah satunya yang bisa membangkitkan semangat adalah tekad R.A.Kartini berikut:


"Aku yang tiada mempelajari sesuatupun, berani-beraninya hendak ceburkan diri ke gelanggang sastra! Tapi bagaimanapun, biar kau tertawakan aku, dan aku tahu kau tak berbuat begitu, gagasan ini tak akan kulepas dari genggamanku. Memang ini pekerjaan rumit; tapi barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang; itulah semboyanku! Maju! Semua harus dilakukan dan dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!" (via Pramoedya Ananta Toer)




Jadi benar bahwa salah satu kunci keberhasilan negara terletak pada moral dan etika bangsanya.






***






"A town like a flower, or a tree, or an animal, should at each stage of its growth, possess unity, symmetry, completeness, and the effect of growth should never be to destroy that unity but to give it greater purpose" (Ebenezer Howard)






P.S.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar