Jumat, 21 Desember 2012

Belajar dari Kehidupan Orang Bali (1)

Bulan Oktober lalu, saya berkesempatan mengunjungi kembali destinasi wisata kebanggaan negeri ini. Bali, memang mempesona tidak saja dari kekayaan alam yang indah, namun juga budaya dan filosofi masyarakatnya yang patut dieksplorasi. Momen ini berkah bagi saya karena kebetulan saat itu kota tempat saya tinggal (Jambi, red) sedang dilanda bencana tahunan bernama Kabut Asap (salah satu dampak dari kebakaran hutan, red) sehingga kunjungan ke Bali dapat dijadikan sebagai self healing, menjauh dari cuaca yang tidak sehat.
Sesampai di Bali, saya langsung mencari taksi untuk mengantarkan saya ke Sanur, tempat saya melakukan pertemuan dengan para delegasi dari berbagai wilayah di Indonesia (ciee berasa mau Konferensi Tingkat Tinggi aja hehehe). Secara kebetulan saya juga membawa serta anak saya yang saat itu berusia 18 bulan bersama asisten saya. Ghavin (nama panggilan putra saya) memang selalu menjadi 'Bintang tamu' dalam setiap kunjungan kerja saya ke luar kota dikarenakan hingga saat ini dia masih menyusui, jadi ibarat kata "kemana pabriknya pergi, sang konsumen harus selalu ikut', hehehe, ini intermezzo saja.
Well, akhirnya kami sampai di dalam taksi dengan Sang Pengemudi Cerdas dan Ramah bernama Pak Wayan. Mengapa saya katakan cerdas? karena sepanjang perjalanan dari Bandara Ngurah Rai hingga sampai di Werdhapura, Sanur, saya seperti mendapat mata kuliah 2 sks dengan judul, Filosofi Kehidupan Orang Bali.
Pak Wayan menjelaskan kepada saya bagaimana Bali bisa menjadi negeri yang dikenal dunia, bagaimana asal muasal para investor asing jatuh hati dengan daerah ini. Bagaimana sejarah kehidupan Kerajaan Mataram Hindu sampai ke tanah Bali juga diuraikan dengan jelas oleh pak Wayan, sampai-sampai saya kehabisan pertanyaan karena informasi yang disampaikan sangat kompleks dan menambah khasanah pengetahuan saya saat itu juga. Terima kasih Tuhan sudah mempertemukan saya dengan orang ini (gumam saya dalam hati).
Ada yang mengusik hati saya saat saya menelusuri jalan-jalan di Denpasar saat itu, pembangunan properti lagi-lagi mengernyitkan dahi, Bali makin mengalami perubahan drastis begitu pengamatan sejak kunjungan terakhir saya tiga tahun lalu. Jalanan makin macet, gedung-gedung hotel makin bertambah, mudah-mudahan alam Bali tetap terlindungi dengan baik karena Bali memiliki wilayah konservasi di bagian barat dengan luasan Taman Nasional Bali Barat kurang lebih 19.000 Hektar, ditambah lagi wilayah konservasi lainnya ini sungguh melegakan. Orang Bali juga sangat menjunjung tinggi kecintaan terhadap alam (lingkungan hidup) seperti prinsip yang terdapat dalam Kitab Agama Hindu, Weda,
Sesampai di Sanur setelah melepas lelah saya kemudian langsung memutar arah ke timur menuju Pantai Sanur yang posisinya persis di Depan hotel. Ini adalah Kali pertama putra saya Ghavin bermain di Bibir pantai dimana sore itu air sedang beranjak surut. Di sepanjang pedestrian way pantai ini, wisatawan asing yang rata-rata para keluarga tampak asik bersepeda, sulit saya temukan wisatawan lokal disini ditambah lagi Cuaca yang sangat terik menjadikan pantai sebagai ruang favorit bagi para turis asing yang ingin berjemur (sunbathing).
Waktu makan malam pun tiba, hanya beberapa orang panitia, Ada saya Dan wakil Dari Papua yang menyantap hidangan malam itu, menunya sangat Indonesia. (Asisten saya bisa manyun kalo menunya ala western haha!)
Pertemuan Kali ini kami membahas tentang Urban Design yang mana pembagian Zonasi dibuat detail berikut zoning regulation-nya. Selain membahas aspek perancangan Kota Dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, ada sesi menarik lain yakni tentang pedoman Rancang untuk jalur pejalan kaki. Hal ini memang memiliki urge nitas tinggi karena Kota-Kota di Indonesia belum ada yang memiliki jalur pejalan kaki yang Human friendly (ini menurut saya loh ya). Alasan saya pun sangat manusiawi sebetulnya, saya belum menemukan pedestrian way perkotaan yang sudah menyediakan akses untuk kaum difabel, Kebanyakan juga jalur pejalan kaki dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang memang secara sosioekonomi juga butuh ruang.










***

Setelah beberapa hari melakukan pertemuan di Sanur, saya lalu memutuskan untuk extent dan tinggal di Tuban, dengan alasan sangat dekat dengan airport. Penjelajahan dimulai dengan tidak meninggalkan kuliner khas Bali, kami sempat diajak teman lama saya semasa SMP dan SMA, Ni Made Ayu Suni (Suni) yang asli Bali, untuk makan malam di sebuah restoran khas masakan lokal yang terletak di pusat Kota Denpasar. Lidah saya terhibur dengan hidangan Sate Cumi, Ayam Sisit dan Sayur Pakis bumbu Bali (silakan dibayangkan yaa... hehehe).





Day 1 

Keesokan harinya melanjutkan penelusuran tentang budaya Bali kami bertolak ke Ubud, siapa yang tidak mengenal Desa Seni bertaraf internasional ini, sampai-sampai Holywood pun jatuh hati menjadikannya sebagai tempat syuting untuk scene Love dalam film Eat, Pray, Love yang diperankan oleh Julia Roberts. Sesampai di pusat kota Ubud kami singgah terlebih dahulu ke Pasar Seni Ubud, karena Pasar termasuk salah satu spot menarik ketika kita ingin merekam jejak aktivitas masyarakat lokal. Ternyata pasar seni Ubud sedang dalam renovasi sehingga hiruk pikuk dan lokasi yang sekarang tidak seramai biasanya, hasrat saya ingin mencari makanan lokal pun kandas. Akhirnya kami hanya mampir sebentar membeli kerajinan anyaman lokal. Karena hari sudah siang maka penjelajahan di Ubud tidak terlalu lama ditambah lagi Ghavin mulai merasa gerah, akhirnya Gelato Oops dan Fish Spa pun dilewati. Ubud bukan hanya menjadi tempat belajar seni dan meditasi, melainkan juga merupakan tempat pilihan para penulis dalam melakukan pertemuan tahunannya, pada saat kunjungan kesana, sedang berlangsung Ubud Writers & Readers Festival 2012 dengan tema Bumi Manusia (This Earth of Mankind) karya emas Pramoedya Ananta Toer yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia (aah ingin sekali saya menghadiri festival ini). Saya sebetulnya kangen dengan daerah Campuhan, dulu waktu honeymoon saya dan suami sempet singgah di Museum Blanco. Namun karena ada wacana ke Bedugul, saya cukup puas dengan mampir di pusat desa Ubud saja.





***

Meninggalkan Desa Seni Ubud, kami meneruskan perjalanan dengan roda empat bersama pengemudi bernama Mas Komang,  saya ingin makan siang di pinggir sawah mas, ujar saya, mobil pun bergerak menuju daerah persawahan terasering yang cantik di Tegalalang, disini banyak sekali turis asing dari Jepang dan Timur Tengah sedang menikmati keelokan sawah sambil minum air kelapa muda. Segar yaa... Saya pun memilih menu khas Bali Ikan Tuna Sambal Matah atau dineri nama "Be Pasih" rasanya lumayan enak, yang membuat unik ya sambal matahnya memang merupakan sajian lokal. Ghavin sangat menikmati suasana saung di Kafe Teras Padi ini, dan tentunya mendapat teman baru dari Tokyo. Moshi-moshi.... :)





Usai makan siang kami kembali menuju arah pulang ke Tuban, namun karena hari menjelang sore jadi kami memutuskan untuk mampir ke Pantai Padang-Padang (hihihi lagi-lagi tempat syuting film Eat Pray Love, ingat scene terakhir si Elizabeth dengan kekasihnya?). sebelumnya setelah dari Ubud kami ingin sekali melihat Bali Safari Park karena Ghavin sangat menyukai dunia fauna tapi karena Ghavin masih lelap tertidur kami langsung merubah peta perjalanan supaya bisa menyaksikan sunset di Jimbaran sambil makan seafood tentunya :).

Suasana macet di Jalan Ngurah Rai By Pass membuat kami terjebak cukup lama di jalanan, sampai akhirnya masuk ke wilayah Pecatu Uluwatu melewati kampus Universitas Udayana dan akhirnya sampai juga di Pantai Padang-Padang, yang mana kondisinya hampir mirip dengan Pantai Dreamland, namun untuk menuju ke padang-padang ini anak tangga berbatu yang dituruni cukup banyak dan terjal (saya lupa menghitungnya), tidak ada Gondola seperti di Karma Kandara Resort. Alhasil saya ngos-ngosan (baca: rada gempor) menggendong Ghavin untuk turun ke pantai, tapi cukup puas meski tidak terlalu lama bermain di sini karena suasananya ramai sekali, sangat tidak private, mungkin gara-gara Julia Roberts syuting disini, jadinya pantai ini penuh dengan turis lokal dan asing yang datang berlibur untuk sekedar berfoto, bermain dan berjemur, tampak banyak juga batita yang sedang bermain pasir dan berenang. Tapi si kriwil Ghavin hanya beberapa saat saja mengambil gambar, saat hendak diletakkan dipasir dia berontak menolak dan langsung menunjukkan tanda-tanda cranky, Wheww!

Akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk mengakhiri Padang-padang sampai disini, belum ekaplor pantainya tapi Ghavin udah rewel jadi memang harus mengalah. Ketika menaiki anak tangga ke atas saya berpapasan dengan penduduk lokal yang membawa tangkapan ikan (saya lupa ini ikan apa yang dibawa, mohon dimaklumi ilmu perikanan saya minim banget, taunya cuma Ikan Nila, Patin, Gurame, Lele ama Hiu hehehe).
Sebelum melanjutkan perjalanan ke Jimbaran, mas Komang bertanya apakah jadi mampir di Pura Uluwatu, karena saya geli dengan monyet-monyet usil yang hampir saja mau mengambil kamera poket saya, kita pun akhirnya urung ke Pura Uluwatu.










Mobil akhirnya kembali bergerak menelusuri Uluwatu, melewati GWK dan karena lokasi yang sangat dekat kami langsung sampai di Jimbaran tepat pukul 5 sore. sebelum masuk ke lokasi pantai di depan tampak Pura yang berlokasi di pinggir jalan sedang dipadati oleh umat Hindu yang mengenakan pakaian putih-putih, sedang ada upacara keagamaan tampaknya.
Akhirnya kami sampai di salah satu restoran seafood di Jimbaran dan kami pun langsung memesan beberapa menu seafood dan es kelapa muda ditambah lagi memang perut sudah nagih minta diisi ulang hehehe. Alhamdulillah kami dapat menikmati sunset di Jimbaran, mengabadikannya dalam kamera, beberapa restoran juga menyuguhkan tarian dan pertunjukan musik tradisional Bali menambah keindahan eksotisnya pantai Jimbaran. Kami secara tidak sengaja juga berkenalan dengan turis dari Jepang yang secara kebetulan tinggal di Osaka (karena punya pengalaman get lost di Osaka jadi
berasa ketemu sodara sendiri hahaha). Mereka gemes melihat Ghavin, "kawai desune" katanyaa ;) jadilah mereka meminta berfoto dengan Ghavin hehehe tapi untunglah mereka cukup fasih berbahasa inggris, pasalnya saya kurang lancar berbahasa jepang hanya tahu kalimat-kalimat standar hehehe, dulu waktu di Osaka kemana-mana bawa kamus saku Jepang yang dibekali sama JICA, pihak sponsor yang mengundang saya belajar singkat di sana, ah kok jadi curcol nih! :D

...Dan Penjelajahan hari ini berakhir tepat jam 7 WITA, kami tiba di Aston Inn Tuban yang tidak jauh dari Jimbaran (thanks buat Sahabat saya Mbak Annis - Delta Tour di Semarang atas bantuannya mendapatkan hotel ini), kami pun langsung beristirahat. Saya tentunya siap-siap menahan kantuk karena Ghavin kalo malam hari aktif sekali, dan saya takjub juga dengan kekuatan fisiknya yang nggak pake capek hehehe.
Terima kasih juga buat teman saya Suni yang sudah mempertemukan saya dengan pengemudi hari ini, meski orangnya sangat pendiam, tapi saya bersyukur hari ini mas Komang sudah membawa saya untuk singgah di Bali Bakery, roti Almond Choco nya enaaaak banget! Berkhayal nanti ada bakery selezat ini di Jambi... Oke Sampai ketemu besok yaa :)